HUKUM ADAT

Deskripsi Mata Kuliah:
• Mata kuliah ini disampaikan secara tatap muka dan akan membahas tentang konsep dasar hukum adat, sistem hukum adat, persekutuan hukum adat, hukum tanah,transaksi tanah, transaksi yang berhubungan dengan tanah, subyek hukum, hukum kekerabatan, hukum perkawinan, hukum harta perkawinan dan hukum waris
• Tugas berkala diberikan secara individu/kelompok

Tujuan Mata Kuliah:
• Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan Hukum Adat dan dapat menyelesaikan perkara-perkara yang bersangkutan dengan Hukum Adat

Prasyarat:
• Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
• Pengantar Hukum Indonesia (PHI)

Pokok Bahasan:
1. Konsep Dasar Hukum Adat
2. Sistem Hukum Adat
3. Persekutuan Hukum Adat
4. Tata Susunan Persekutuan Hukum Adat
5. Dasar Berlakunya Hukum Adat
6. Hukum Tanah Adat
7. Transaksi Tanah
8. Transaksi Yg Berhubungan Dengan Tanah
9. Subyek Hukum
10. Hukum Kekerabatan/Kekeluargaan/Kewangsaan
11. Hukum Perkawinan Adat
12. Hukum Harta Perkawinan
13. Hukum Waris
14. Tata Cara Pewarisan

Literatur:
1. Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.
2. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1983.
3. -----, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992.
4. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
5. -----, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999.
6. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996
7. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
8. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asasasas Hukum Adat, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995.
9. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,…
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
11. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

DOWNLOAD MATERI HUKUM ADAT:

1.Hukum
2.Pengantar Hukum Adat
3.Corak Dan Sistem Hukum Adat
4.Hukum Perorangan
5.Hukum Perkawinan
6.Hukum Tanah Adat
Category: 0 komentar
PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA
 

I. Latar Belakang
Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS Yo. Pasal 131 IS.
Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
- Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka
- Golongan Timur Asing Tionghoa dan Non Tionghoa
- Golongan Bumi Putera.

Berdasarkan peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Undang-undang No. 62 / 1958 dan Keppers No. 240 / 1957 pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ). Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Namun demikian apabila berbicara persoalan hukum waris, maka tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yaitu ;
- adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan,
- adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atus memiliki harta warisan dan
- adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan .

Tidat selamanya mendengar dan menguraikan tentang hukum waris, kita teringat kepada seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka yang langsung dapat dibagi-bagikan kepada seluruh ahli waris untuk dapat memiliki dan dikuasai secara bebas, tetapi adakalanya terjadi pewaris dalam arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup.
Demikianlah corak khas dari hukum waris bangsa Indonesia yang selama ini berlaku, dimana terdapat beberapa titik persamaannya.
Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan kekeluargaan/kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :
- Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (Patrilineal)
Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon
- Pertalian keturuman menrut garis perempuan (matrilineal)
Contoh : Minangkabau, Kerinci (Jambi), Semendo-(Sumetera Selatan)
- Pertalian keturunan menurut garis Ibu dan bapak (Parental/Bilateral)
Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan (Dayak) , dan lain-lain.

Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu :
1. Sistem Pewarisan Individual
Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral (Jawa) dan susunan kekeluargaan patrilineal (Batak)
2. Sistem Pewarisan Kolektif
Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanag dati di Ambon.
3. Sistem Pewarisan Mayorat
Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain.

Dari itulah , untuk mendapatkan imformasi/gambaran tentang hukum waris yang berlaku di Indonesia saat ini, segera akan dibahas pada uraian berikutnya.

II. PERMASALAHAN
Yang menjadi masalah didalam tulisan ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan hukum waris
2. Bagaimanakah sebenarnya keadaan hukum waris di Indonesia
3. Mengapa hukum waris sulit untuk disatukan bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia.
4. Sistem pewarisan yang bagaimanakah yang dianggap sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Seperti yang telah terurai diatas, bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk teramsuk kepada hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tatacara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang berhak memeriksa dan memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli waris dan lain sebagainya.
Untuk golongan masyarakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing disana sisi dipengaruhi oleh unsur-unsur agama dan kepercayaan. Begitu juga terhadap golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris ini aspirasinya separuhnya diserahkan kepada hukum perdata Eropa ( kitab undang-undang hulkum perdata ).
Dari penjelasan tersebut diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti dan makna hukum waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman tentang pengertian dan makna hukum waris sebagai suatu standard hukum ( pedoman ) serta pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia .Namun demikian semua pihak terdapat bahwa apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yakni :
1. Adanya harta peninggalan ( kekayaan ) pewaris yang disebut warisan
2. Adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan & mengalihkan atau meneruskannya, dan
3. Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan ( penerusan ) atau pembagian harta warisan itu .

Menurut hukum kewarisan islam (hukum faraidh), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris.
Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra“.(H. Abdullah Syah, 1994 : 4)
Kemudian ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah :
“Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi “ .(Ter Haar, 1950 : 197).

Hukum Adat Waris menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (Immateriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya “.( Supomo, 1967 : 72 )
Sedangkan Kitab Undang-undang hukum perdata ( BW ) juga memberikan batasan tentang pengertian dan defenisi hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah seperti terurai dibawah ini.
Menurut Pasal 830 BW : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian“.

Pasal 832 BW mengatakan : “Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik syah maupun luar kawin dan si suami atua isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini, dalam hal bilamana baik keluarga sedarah maupun yang hidup terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggal si yang meninggal menjadi milik negara yang mana wajib melunasi segala utangnya , sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu .

B. Hukum Kewarisan Islam.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.
“Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan dan pada syara adalah bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris ! dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara “.

Demikian demikian faraidh diatur antara lain tentang tata cara pembagian Harta Warisan , besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, sahabah-sahabah, dan lain sebagainya.
Pada waktu Agama Islam belum datang ketanah Arab, manusia msaih mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang tumpang tindik dan salah, bertentangan dengan fitrah manusia. Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada yang lemah seperti wanita-wanita dan anak-anak tetapi mereka memberikan warisan kepada laki-laki yang dewasa dan anak angkat yang mereka pelihara sehingga dengan demikian kadang-kadang kerabat mereka tidak mendapat warisan atau berkurang bagiannya oleh anak angkat tersebut. Dengan demikian hak-hak kerabat telah dirampas oleh anak angkat dengan cara yang memudharatkan dan permusuhan. Hukum ini lahir dari hawa nafsu mereka belaka dan berdasarkan hukum adat yang sesat.
Ratio yang memberikan harta warisan kepada laki-laki yang dewasa dan anak angkat seperti tersebut diatas karena kaum laki-lakilah yang mampu menghadang musuh dalam peperangan dan yang dapat membentangi suku dari serangan-serangan suku lain. Sedangkan kaum wanita hanya membuat onar, aib, serta menghabiskan harta yang ada .Oleh karena itulah meraka menetapkan wanita dan anak-anak tidak berhak menerima warisan.
Kemudian Agama Islam datang dengan aturan–aturan yang adil, tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun besar semua mendapat bagian.
Untuk itu Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang artinya :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan“.

Bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan kemudian ditetapkan oleh Allah didalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut :
“Allah mensyaritkan bagimu (tentang pembagian pusaka) untuk anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan “.

Jadi jelaslah bahwa pembagian harta warisan (pusaka) menurut syariat Islam tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt yakni bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 (dua) orang anak perempuan atau 2 (dua) berbanding 1 (satu).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A KHI (Kompilasi Hukum Islam) menyatakan :
“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing“.

Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang :
“Besar bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah (½) bagian ; bila 2 (dua) orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga (2/3) bagian ; dan apabila anak perempuan bersama-bersama dengan anak laki-laki maka bagiannya adalah 2 (dua) berbanding 1 (satu) dengan anak perempuan“.

Dan Pasal 183 KHI menyatakan :
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya“.

Dari uraian tertera diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama yakni 2 (dua) berbanding 1 (satu).
Berhubung oleh kerena Al-Qur’an dan haidst Nabi hukumnya wajib dan merupakan pegangan / pedoman bagi seluruh umat Islam dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan (pusaka) inipun secara optimis pula haruslah ditaati dan dipatuhi.
Al - Qur‘an menyatakan yang artinya :
“Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitab Allah“.
Kemudian adalah sebagai berikut :
“(hukum-Hukum tersebut) itu adalah ketentuan Allah)
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Niscaya Allah memasukan kedalam syurga yang mengalir didalamnya sunga-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar“.

Dari keterangan diatas, jelaslah ditegaskan bahwa tentang warisan supaya dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan memberikan pahala syurga bagi yang mematuhi dan mengancam dengan azab api neraka terhadap yang menolaknya dan mengikarinya. Dengan perkataan lain Islam telah mengatur dengan pasti tentang hukum waris yang berlaku bagi pemeluknya.
Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris Islam dituangkan kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain mengenai :
Pasal 209 KHI menyatakan :
1. “Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2. .“Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tua angkat.
Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang sebelumnya menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua angkatnya kecuali pemberian-pemberian dan lain-lain, maka sekarang dengan berlakunya KHI terhadap anak angkatnya mempunyai hak dan bagian yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, apabila anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah.
Selanjutnya didalam hukum kewarisan Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
Ahli waris dalam Hukum Islam telah ditetapkan/ditentukan yakni terdiri dari:
1. PEREMPUAN
Wanita yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu
d. Nenek, Ibu dari Ibu
e. Nenek, Ibu dari Bapa
f. Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
g. Saudara perempuan se Bapa
h. Saudara perempuan se Ibu
i. Isteri
j. Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )

2. LAKI - LAKI
jika dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 (lima belas) orang yaitu :
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Bapa
d. Datuk, Bapa dan Bapa
e. Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
f. Saudara laki-laki se Ibu
g. Saudara laki-laki se Bapa
h. Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu dan se bapa
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se Bapa
j. Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak laki-laki se Ibu se Bapa
k. Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa laki-laki se Bapa
l. Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa
m. Anak laki-laki dari Mamak se Bapa
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan sahaja ( tidak berlaku lagi )

3. ZUL ARHAM
Yaitu kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk zawil furud dan juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.

4. ASHABAH
Ashabah menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 (tiga) bahagian :
a. Yang menjadi ashabah dengan sendirinya (Ashabah Binafsi)
Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki se Ibu dan suami
b. Yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain (Ashabah Bi’lghair)
Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak laki-laki dan anak perempuan.
c. Yang menjadi ashabah bersama orang lain (Ashabah Ma’alhair).

5. BAITU AL - MAAL.
Jikalau didalam pembagian pusaka terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan berkembang di Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan kemaslahatan Kaum Muslimin.
Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :
1. 1/3 ( seperdua )
2. 1/4 ( seperempat )
3. 1/8 ( seperlapan )
4. 2/3 ( dua pertiga )
5. 1/3 ( sepertiga )
6. 1/6 ( seperenama )

Demikianlah ketentuan-ketentua yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkau masalah ahli waris dan bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi sesama ahli waris dengan sistem kewarisan Islam yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual/Bilateral.
Selanjutnya dapat dilihak pengertian ahli waris dan pengelompokan didalam KIII. Perihal ahli waris yang terdapat dalam Pasal 171 Bab I dimaksud adalah
“Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris“ .

Kemudian Pasal 174 Bab II mengatakan :
1. Kelompok – kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki-laki saudara laki laki, Paman, dan kakek ;
- Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, Anak perempuan dan Nenek
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : Duda atau Janda.
2. Apabila semua ahli waris ada , maka yang berhak mendapatkan warisan hanya : Anak , Ayah , Ibu , Janda , atau Duda.

Demikian uraian yang telah disampaikan mengenai hukum kewarisan Islam menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) khusunya mengenai tatacara pembagian harta warisan dan besarnya bagian yang diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan.

C. Sepintas Tentang Hukum Waris Adat.
Berbicara mengenai Hukum Waris Adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan/pedoman untuk dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya.
Hukum Waris Adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan pengusa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris.
Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Ter Haar , 1950 ; 197 menyatakan :
“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi“.

Supomo , 1967 ; 72 menyatakan :
“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengopor barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immateriele Geoderen) dari suatu angkatan manusia (Generatio) kepada turunannya “.

Dengan demikian hukum waris itu menurut ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan pearlihan cara kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya.
Cara penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris maish hidup atau setelah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan antara hukum waris barat (KUH Perdata) .
Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum) , diantaranya adalah sebagai berikut :
“Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka .kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh“.

“Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya”.
“Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta) Dan bagian mana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya”.

“Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung)“.( Datuk Usman, 1992: 157-160)

Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya .
“Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul”.

“Kalau harta warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain” :
“Orang lain yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris) atau
“Anak laki-laki tertua atau perempuan
“Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
“Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris “.(Hilman Hadikusuma, 1993: 104 –105)

“Apabila terjadi konflik (perselisihan), setelah orang tua yang maish hidup, anak lelaki atau perempuan tertua, serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah/mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama”.

“Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika (angka) , tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan”.

Tatacara pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
“ 1. Dengan cara segendong sepikul
Artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan. Atau
2. Dengan cara Dum Dum kupat
Artinya dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama)“. ( Ibid, Halaman, 106 )

Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam . Ini semua setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika , yang didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong guna mewujudkan kerukunan , keselarasan dan kedamaian.
Untuk membandingkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan Islam :
Dibawah ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain :
1. Harta warisan menurut hukum waris adat yang tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan macamnya dan kepentingan para ahli waris. Harta warisan adat tidak boleh dijual segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku :
2. Didalam hukum waris Islam , harta peninggalan pewaris langsung dibagi-bagi kepada sesama ahli waris yang tidak berhak berdasarkan hukum faraidh.
3. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para ahli waris, tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat dipakai dan dinikmati .
Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan .
Bahkan harta warisan yang terbagi , kalau akan dialihkan (dijual oleh para ahli waris) kepada orang lain harus dimintakan pendapat antara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.
- Hukum waris adat tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau bagian mutlak
- Hukum kewarisan Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah dtentukan Al Qur ‘an Surah Annisa
- Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli waris.
Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaan untuk dapat dengan cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.

D. Hukum Waris Barat
Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) yang menganut sistem individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti Eropah, Cina, bahkan keturunan Arab dan lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya Undang-undang No. 1/1974 , tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara. Hal ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 Undang-undang No. 1/1974 yang menyatakan :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen (Hoci S. 1993 No. 74) , peraturan perkawinan campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini , dinyatakan tidak berlaku.

Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
1. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya
2. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu
3. Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu
4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat
diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lau “.(Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 14)

Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan kepada para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan (pusaka) yang belum dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentang dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru. Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
I. Ahli waris menurut undang-undang disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestato.
Yang termasuk dalam golongan ini ialah
1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)
3. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
4. Keluarga sedarah alami dari sipewaris
II. Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair)
Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya“.

Pada dasarnya untuk dapat mengerti dan memahami hukum waris ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah dan semenda , status hukum anak-anak tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya. Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai hukum kewarisan islam dan hukum waris adat.

Legitime Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab intestato dari legitimaris yang bersangkutan dengan perkatan lain legitime portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.
Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak dan keturunanya terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh pewaris. Untuk lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasal 914 KUH Perdata yang pada pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :
a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak , maka legitime portie anak itu adalah ½ dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine portie masing-masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih , maka bagian amsing-masing anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu“. (Ibid , : 68) .

Jadi yang dimaksud dengan tiga orang anak atau lebih adalah termasuk pula semua keturunannya , akan tetapi sebagai pengganti.
Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-masing mempunyai warna dan karakteristik tersendiri , memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan alam pikiran dan jiwa pembentukannya , yang masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan hidup dan keyakinan yang berbeda-beda pula dan mengakibatkan terjadinya pluralisme hukum waris di Indonesia.

IV. KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulam
Dari uraian terdahulu tentang pluralisme hukum waris di Indonesia, dapatlah dirangkum seperti tersebut dibawah ini :
1. Bahwa pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai suatu pedoman atau standar hukum , dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti dan definisi sendiri-sendiri , seperti terlihat pada sistem hukum kewarisan Islam, hukum waris barat dan hukum waris adat . Namun demikian berbicara mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni, adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris dan adanya ahli waris.
2. Bahwa tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan. Disamping itu terkait pula dengan hubungan dan didomonasi oleh perasaan, kesadaran, kepercayaan dan agama, dengan kata lain bertalian erat dengan pandangan hidup seseorang.
3. Bahwa dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada susunan kekeluargaan parental dan sistem pewarisan individual, walaupun disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki sebagai pengganti kedudukan ayah , keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan patritineal atau matrilineal dengan sistem pewarisan kolektif atau mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.

B. Saran
1. Bahwa mengingat hukum kewarisan Islam merupakan suatu aturan yang langsung menyetuh perasaan, pandangan hidup dan pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah warisan sesuai dengan kewajiban dan perintah Tuhan, maka sebaiknya hukum waris ini berdiri sendiri dan berlaku bagi umat Islam di seluruh tanah air.
2. Bahwa hukum waris barat (BW) yang telah berusia lebih dari satu setengah abad, wajarlah kiranya diperbaharui (diganti) dan pasal-pasalnya satu demi satu dinilai, yang dianggap masih sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman dipertahankan dan yang usang ditinggalkan.
3. Bahwa hukum waris adat dan hukum waris barat (BW) dapat dijadikan satu kitab hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia (orang asing) yang non muslim. Bahan-bahannya dapat diambil dari hukum barat yang masih sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman serta dari hukum waris adat yang pada setiap daerah dengan cara menelaah titik persamaan yang ada dan meninggalkan hukum adat yang tidak lagi dipertahankan oleh masyarakat luas atau bertentangan dengan azas-azas umum tentang kepatuhan dan keadilan.
4. Bahwa untuk itu lebih diperbanyak pusat informasi data dan dokumentasi hukum waris , baik hukum kewarisan Islam, hukum waris adat dan hukum waris barat ( BW ).
5. Bahwa perlu ditingkatkan gairah dan semangat menulis, baik dalam bentuk karya ilmiyah, penelitian ataupun seminar dan lain sebagainya agar dapat diketahui sejauh mana aturan-aturan hukum waris itu masih tetap dipertahankan atau telah ditinggalkan oleh anggota masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani Abdillah , 1994 , pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta.

Abdullah Syah , 1994 , Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam ( Fiqh ) , kertas kerja Simposium Hukum Waris Indonesia dewasa ini , Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , Medan.

Datuk Usman , 1992 , Diktat Hukum Adat II , Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , Medan.

M. Yahya Harahap , 1993 , kedudukan janda , duda , dan anak angkat dalam Hukum Adat , PT. Citra Aditnya Bakti , Bandung.

Hilman Hadikusuma , 1993 , Hukum Waris Adat , PT. Citra Aditnya Bakti , Bandung.
M . U . Sembiring , 1987 , beberapa Bab penting dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , Medan.

R. Subekti & R. Tjitrosedibio , 1980 , Kitab Undang – Undang Hukum Perdata , Pradnya Paramita , jakarta.

Keputusan Mahkamah Agung republik Indonesia tanggal 1 Nopember 1961 No. 179 / K / Sip / 1961 tentang persamaan hak antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat.

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 302 / K / Sip / 1960 , tanggal 2 Nopember 1960 , tentang Hukum Adat diseluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta bersama (Gono Gin ) dan harta asal suami.
Category: 0 komentar
MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI 

A. PENDAHULUAN
Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
• Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi. 
• Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. 
• Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. 
• Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan     kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ). 

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945 
1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan. 
2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang. 
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen). 
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang. 
5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli. 

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966: 
1. UUD 1945 
2. TAP MPR 
3. UU/PERPU 
4. Peraturan Pemerintah 
5. Keputusan Presiden 
6. Peraturan Menteri 
7. Instruksi Menteri 

Menurut TAP MPR III Tahun 2000: 
1. UUD 1945 
2. TAP MPR 
3. UU 
4. PERPU 
5. PP 
6. Keputusan Presiden 
7. Peraturan Daerah 
Menurut UU No. 10 Tahun 2004: 
1. UUD 1945 
2. UU/PERPU 
3. Peraturan Pemerintah 
4. Peraturan Presiden 
5. Peraturan Daerah 

D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945 
1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya. 
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial. 
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal. 
5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”. 

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 
Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
MPR 
• Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden. 
• Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat. 
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
• Presiden, sebagai presiden seumur hidup. 
• Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut. 
• Memberhentikan sebagai pejabat presiden. 
• Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya. 
• Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden. 
• Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR. 

PRESIDEN 
• Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”. 
• Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president). 
• Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). 
• Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. 
• Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. 

DPR 
• Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden. 
• Memberikan persetujuan atas PERPU. 
• Memberikan persetujuan atas Anggaran. 
• Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden. 


DPA DAN BPK 
• Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim. 
• 
F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 

Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945: 
• Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law. 
• Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim. 
• Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. 
• Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945. 
• Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum. 
• Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern. 

MPR 
• Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. 
• Menghilangkan supremasi kewenangannya. 
• Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN. 
• Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu). 
• Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD. 
• Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu. 

DPR 
• Posisi dan kewenangannya diperkuat. 
• Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU. 
• Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah. 
• Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. 

DPD 
• Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. 
• Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. 
• Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu. 
• Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. 

BPK 
• Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. 
• Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. 
• Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. 
• Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK. 

PRESIDEN 
• Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial. 
• Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR. 
• Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja. 
• Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR. 
• Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. 
• Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya. 



MAHKAMAH AGUNG 
• Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)]. 
• Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang. 
• Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 
• Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain. 

MAHKAMAH KONSTITUSI 
• Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution). 
• Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD. 
• Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif. 

Pembagian kekuasaan negara menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Montesquieu [L’Esprit des Lois, 1748] membagi dalam 3 (tiga) cabang:
a. Legislatif (the legislative function)
b. Eksekutif (the executive or administrative function)
c. Yudisial (the judicial function)
2. John Locke membaginya dalam 3 (tiga) fungsi:
a. Fungsi Legislatif
b. Fungsi Eksekutif
c. Fungsi Federatif
3. van Vollenhoven membagi menjadi 4 (empat) fungsi (catur praja):
a. Regeling (pengaturan)
b. Bestuur (eksekutif)
c. Rechtspraak (peradilan); dan
d. Politie (fungsi ketertiban). 

Teori mengenai pembagian kekuasaan (divison of power atau distribution of power) pada dasarnya berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perjalanannya, telah berkembang berbagai versi yang digunakan oleh para ahli lainnya terkait dengan peristilahannya. 
Sebelum adanya amandemen UUD 1945, perspektif yang digunakan oleh banyak ahli Indonesia yaitu konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang bersifat vertikal. Sedangkan setelah amanedemen UUD 1945, perspektif yang digunakan yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances. 
Oleh karena itu, Konstitusi kita kini tidak dapat lagi dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legisaltif, eksekutif dan judisial secara mutlak. 
Dalam hubungannya dengan antar lembaga negara, cabang-cabang kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini saling mengendalikan dan menjadi penyeimbang satu sama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip checks and balances. Misalnya, telah hadirnya mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) di tangan Mahkamah Konstitusi, atau tidak terdapatnya lagi lembaga negara dengan status “tertinggi” melainkan semua lembaga negara memiliki status dan derajat yang sama.
Category: 0 komentar
DARI MANA KATA INDONESIA

         Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan- hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan wipantara.
          Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
          Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
        Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
         Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879- 1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk men yebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
        Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli = antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dandua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi inidengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatifdari nama Hindia Belanda.
NAMA INDONESIA

        Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuahmajalah ilmiah tahunan, Journal of the IndianArchipelago and Eastern Asia (JIAEA), yangdikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjanahukum dari Universitas Edinburgh. Kemudianpada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsaInggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksimajalah JIAEA.
          Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-4, Earlmenulis artikel On the Leading Characteristics of thePapuan, Australian and Malay- Polynesian Nations. Dalamartikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnyabagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayuuntuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebabnama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu denganpenyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihannama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalambahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the IndianArchipelago or Malayan Archipelago would becomerespectively Indunesians or Malayunesians.Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia(Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (KepulauanHindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon(Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl,bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini?Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilahMalayunesia dantidak memakai istilah Indunesia.
         Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347,James Richardson Logan menulis artikel TheEthnology of the Indian Archipelago. Pada awaltulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khasbagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “IndianArchipelago” terlalu panjang dan membingungkan.Logan memungut nama Indunesia yang dibuangEarl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agarucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul didunia dengan tercetak pada halaman 254 dalamtulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical termIndunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. Iprefer the purely geographical term Indonesia, which ismerely a shorter synonym for the Indian Islands or theIndian Archipelago. Ketika mengusulkan nama“Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa dikemudian hari nama i tu akan menjadi nama bangsa dannegara yang jumlah penduduknya peringkat keempatterbesar di muka bumi!Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama“Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat launpemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidangetnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi diUniversitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905)menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln desMalayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasilpenelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah“Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbulanggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapatyang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam > Encyclopedievan Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambilistilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
         Putra ibu pertiwi yang mula-mulamenggunakan istilah “Indonesia” adalahSuwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun1913 beliau mendirikan sebuah biro persdengan nama Indonesische Pers-bureau.

MAKNA POLITIS

         Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yangmerupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itudiambil alih oleh tokoh- tokoh pergerakan kemerdekaan tanahair kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki maknapolitis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkankemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga danwaspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
         Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorangmahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) diRotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di NegeriBelanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama IndischeVereeniging) berubah nama menjadi IndonesischeVereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalahmereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi IndonesiaMerdeka.
         Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan IndonesischeStudie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga PerserikatanKomunis Hindia berganti nama menjadi Partai KomunisIndonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bondmembentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij(Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mulamenggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia”dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita padaKerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
          Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (DewanRakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, WiwohoPurbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosikepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikansebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belandakeras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
             Maka kehendak Allah pun berlaku. Denganjatuhnya tanah air kita ke tangan Jepangpada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama“Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalupada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkatrahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlahRepublik Indonesia.

Category: 0 komentar
                                                                           ABSTRAKSI

    Judul penelitian ini adalah Peran Partai Politik Dalam Rekruitmen Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (Studi Kasus di Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Cilacap).  
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan analisa normatif kualitatif. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder sebagai bahan utama. Tujuan penelitian ini adalah, untuk menganalisis peran partai politik dalam rekruitmen calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dan untuk menganalisis mekanisme rekruitmen calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ditentukan oleh partai politik. 
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran partai politik dalam Rekruitmen calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan UU No. 32/2004, dapat disimpulkan dari Pasal 59 Ayat (1) menentukan bahwa Partai politik merupakan pintu satu-satunya dalam hal pencalonan (sistem terbatas) Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah. Calon perseorangan (calon independen), diakomodir dalam proses pencalonan pilkada langsung tetapi aksesnya sangat sempit. Sempitnya akses calon perseorangan itulah yang memberi konfirmasi bahwa nuansa rekruitmen calon oleh partai menggunakan sistem tertutup. Peran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan jabatan politik yang bersifat strategis. Namun partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai dan/atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan, sehingga yang terjadi peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen dan sarana pengatur konflik, belum dapat dilaksanakan secara optimal. Mekanisme Rekruitmen calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ditentukan oleh partai politik dalam Penjaringan, Penyaringan dan Penetapan, partai menetapkan nama calon Bupati dan/atau Wakil Bupati yang dilakukan oleh Partai, dengan menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik yang berasal dari perorangan maupun kelompok masyarakat. Persyaratan bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berpedoman pada kriteria dalam syarat bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun ketentuan internal partai dengan mempertimbangkan parameter seleksi administratif calon seperti aspek kesetiaan pada dasar negara dan idiologi bangsa, aspek akseptabilitas, aspek kapabilitas, aspek mekanisme kontrol dan ketaatan sebagai hamba hukum (kredibilitas pemerintahan).

Penelitian dilakukan Tahun 2006

Category: 0 komentar